PEMBANGUNAN
EKONOMI DAERAH DAN OTONOMI DAERAH
A.
UNDANG-UNDANG
OTONOMI DAERAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah
pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pemerintah
daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Daerah otonom, selanjutnya
disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
9. Tugas pembantuan adalah penugasan
dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa
untuk melaksanakan tugas tertentu.
10. Peraturan
daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau
peraturan daerah kabupaten/kota.
11. Peraturan
kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan Bupati/Walikota.
12. Desa atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah
serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
14. Anggaran
pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
15. Pendapatan
daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
16. Belanja
daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
17. Pembiayaan
adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
18. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan
daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak
lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
19. Kawasan
khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan
yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.
20. Pasangan
calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut
pasangan calon adalah bakal pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan
untuk dipilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
21. Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi,
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap provinsi dan/atau
kabupaten/kota.
22. Panitia
Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut PPK, PPS, dan KPPS adalah pelaksana
pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada tingkat
kecamatan, desa/kelurahan, dan tempat pemungutan suara.
23. Kampanye
pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang selanjutnya disebut kampanye
adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi,
misi, dan program pasangan calon.
Pasal
2
(1) Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah.
(2) Pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah.
(4) Pemerintahan
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
(5) Hubungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan,
pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.
(6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
(7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan
administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
(8) Negara mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(9) Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 3
(1) Pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
a.
pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas
pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;
b.
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.
B.
Perubahan Penerimaan Daerah dan Peranan Pendapatan Asli Daerah
Secara sederhana, perubahan APBD
dapat diartikan sebagai upaya pemerintah daerah untuk menyesuaikan rencana
keuangannya dengan perkembangan yang terjadi. Perkembangan dimaksud bisa
berimplikasi pada meningkatnya anggaran penerimaan maupun pengeluaran, atau
sebaliknya. Namun, bisa juga untuk mengakomodasi pergeseran-pergeseran dalam
satu SKPD.
Perubahan atas setiap komponen APBD
memiliki latar belakang dan alasan berbeda. Ada perbedaan alasan untuk
perubahan anggaran pendapatan dan perubahan anggaran belanja. Begitu juga untuk
alasan perubahan atas anggaran pembiayaan, kecuali untuk penerimaan pembiayaan
berupa SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu), yang memang menjadi
salah satu alasan utama merngapa perubahan APBD dilakukan.
Perubahan atas pendapatan, terutama PAD bisa saja berlatarbelakang perilaku
oportunisme para pembuat keputusan, khususnya birokrasai di SKPD dan SKPKD.
Namun, tak jarang perubahan APBD juga memuat preferensi politik para politisi
di parlemen daerah (DPRD). Anggaran pendapatan akan direvisi dalam tahun
anggaran yang sedang berjalan karena beberapa sebab, diantaranya karena (a)
tidak terprediksinya sumber penerimaan baru pada saat penyusunan anggaran, (b)
perubahan kebijakan tentang pajak dan retribusi daerah, dan (c) penyesuaian
target berdasarkan perkembangan terkini.
Ada beberapa kondisi yang
menyebabkan mengapa perubahan atas anggaran pendapatan terjadi, di antaranya:
- Target pendapatan dalam APBD underestimated (dianggarkan terlalu rendah). Jika sebuah angkat untuk target pendapatan sudah ditetapkan dalam APBD, maka angka itu menjadi target minimal yang harus dicapai oleh eksekutif. Target dimaksud merupakan jumlah terendah yang “diperintahkan” oleh DPRD kepada eksekutif untuk dicari dan menambah penerimaan dalam kas daerah.
- Alasan penentuan target PAD oleh SKPD dapat dipahami sebagai praktik moral hazard yang dilakukan agency yang dalam konteks pendapatan adalah sebagai budget minimizer. Dalam penyusunan rancangan anggaran yang menganut konsep partisipatif, SKPD mempunyai ruang untuk membuat budget slack karena memiliki keunggulan informasi tentang potensi pendapatan yang sesungguhnya dibanding DPRD.
- Jika dalam APBD “murni” target PAD underestimated, maka dapat “dinaikkan” dalam APBD Perubahan untuk kemudian digunakan sebagai dasar mengalokasikan pengeluaran yang baru untuk belanja kegiatan dalam APBD-P. Penambahan target PAD ini dapat diartikan sebagai hasil evaluasi atas “keberhasilan” belanja modal dalam mengungkit (leveraging) PAD, khususnya yang terealiasai dan tercapai outcome-nya pada tahun anggaran sebelumnya.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, PAD seharusnya merupakan sumber utama keuangan daerah dalam
membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sedangkan kekurangan pendanaan
ditunjang dari dana perimbangan. Namun dalam kenyataannya, dana perimbangan
merupakan sumber dana utama pemerintah daerah.
Untuk mengetahui tujuan dari peranan
pendapatan ini adalah :
- Untuk mengetahui peranan PAD sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD .
- Untuk mengetahui peranan DAU sebagai sumber penerimaan dalam pembiayaan APBD.
- Untuk mengetahui apa saja usaha pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
- Untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
- Untuk mengetahui apa saja usaha pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
- Peranan PAD dalam APBD memberikan kontribusi rata-rata pertahunya 7,49 persen dengan adanya peningkatan kontribusi di tiap tahunya yaitu tertinggi pada tahun 2011 dengan kontribusi sebesar 9,37 persen.
- Peranan DAU dalam APBD memberikan kontribusi rata-rata pertahunya 66,38 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah lebih banyak menggunakan DAU daripada PAD untuk belanja
daerah. Secara umum kebijakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah dari sektor
pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan kebijakan dalam bentuk
intensifikasi.
Sedangkan kendala yang dihadapi
pemerintah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah antara lain masih
rendahnya tingkat kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak daerah maupun retribusi
daerah. Usaha pemerintah dalam hal mengatasi kendala dalam peningkatan
Pendapatan Asli Daerah dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Saran dalam penelitian ini adalah
hendaknya pemerintah perlu melakukan penyempurnaan pengelolaan pajak dan
retribusi daerah yang berkaitan dengan perencanaan, sistem dan prosedur
pelaksanaan pemungutan pelaporan dan pengawasan serta koordinasi antar instansi
pengelola PAD.
C. PEMBANGUNAN
EKONOMI REGIONAL
Secara tradisional pembangunan
memiliki arti peningkatan yang terus menerus pada Gross Domestic Product atau
Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang
tradisional difokuskan pada peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu
provinsi, kabupaten, atau kota.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Lincolin Arsyad, 1999).
Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Todaro, 2000).
Masalah pokok dalam pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumberdaya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif yang berasal dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk mencipatakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi - institusi baru, pembangunan indistri - industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru.
Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah berserta pertisipasi masyarakatnya dan dengan menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun perekonomian daerah.
Pembangunan ekonomi nasional sejak PELITA I memang telah memberi hasil positif bila dilihat pada tingkat makro. Tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita mengalami peningkatan dari hanya sekitar US$50 pada pertengahan dekade 1960-an menjadi lebih dari US$1.000 pada pertengahan dekade 1990-an. Namun dilihat pada tingkat meso dan mikro, pembangunan selama masa pemerintahan orde baru telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income, distribution, maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi atau pendapatan antar daerah atau provinsi.
Kasus Pembangunan Indonesia Bagian Timur
Hasil pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru menunjukkan bahwa walaupun secara nasional laju pertumbuhan ekonomi nasional rata-rata per tahun tinggi namun pada tingkat regional proses pembangunan selama itu telah menimbulkan suatu ketidak seimbangan pembangunan yang menyolok antara indonesia bagian barat dan indonesia bagian timur. Dalam berbagai aspek pembangunan ekonomi dan sosial, indonesia bagian timur jauh tertinggal dibandingkan indonesia bagian barat.
Tahun 2001 merupakan tahun pertama pelaksanaan otonomi daerah yang dilakukan secara serentak diseluruh wilayah indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah diharapakan dapat menjadi suatu langkah awal yang dapat mendorong proses pembangunan ekonomi di indonesia bagian timur yang jauh lebih baik dibanding pada masa orde baru. Hanya saja keberhasilan pembangunan ekonomi indonesia bagian timur sangat ditentukan oleh kondisi internal yang ada, yakni berupa sejumlah keunggunlan atau kekeuatan dan kelemahan yang dimiliki wilayah tersebut.
Keunggulan wilayah Indonesia Bagian Timur
Keunggulan atau kekeuatan yang dimiliki Indonesia bagian timur adalah sebagai berikut:
1. Kekayaan sumber daya alam
2. Posisi geografis yang strategis
3. Potensi lahan pertanian yang cukup luas
4. Potensi sumber daya manusia
Sebenarnya dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki indonesia bagian timur tersebut, kawasan ini sudah lama harus menjadi suatu wilayah di Indonesia dimana masyarakatnya makmur dan memiliki sektor pertanian, sektor pertambangan, dan sektor industri manufaktur yang sangat kuat. Namun selama ini kekayaan tersebut disatu pihak tidak digunakan secara optimal dan dipihak lain kekayaan tersebut dieksploitasi oleh pihak luar yang tidak memberi keuntungan ekonomi yang berarti bagi indonesia bagian timur itu sendiri.
Kelemahan Wilayah Indonesia Bagian Timur
Indonesia bagian tinur juga memiliki bagian kelemahan yang membutuhkan sejumlah tindakan pembenahan dan perbaikan. Kalau tidak, kelemahan-kelemahan tersebut akan menciptakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan ekonomi di kawasan tersebut. Kelemahan yang dimiliki Indonesia bagian timur diantaranya adalah:
1. Kualitas sumber daya manuasia yang masih rendah
2. Keterbatasan sarana infrastruktur
3. Kapasitas kelembagaan pemerintah dan publik masih lemah
4. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan masih rendah
Tantangan dan Peluang
Pembanguanan ekonomi di Indonesia bagian timur juga menghadapai berbagai macam tantangan, yang apabila dapat diantisipasi dengan persiapan yang baik bisa berubah menjadi peluang besar. Salah satu peluang besar yang akan muncul di masa mendatang adalah akibat liberalisasi perdagangan dan investasi dunia (paling cepat adalah era AFTA tahun 2003). Liberalisasi ini akan membuka peluang bagi IBT, seperti juga IBB, untuk mengembangkan aktivitas ekonomi dan perdagangna yang ada di daerahnya masing- masing.
Langkah –langkah yang Harus Dilakukan
Pada era otonomi dan dalam menghadapi era perdagangan bebas nanti, IBT harus menerapkan suatu strategi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan yang mendorong pemanfaatan sebaik-baiknya semua keunggulan–keunggulan yang dimiliki kawasan tersebut tanpa eksploitasi yang berlebihan yang dapat merusak lingkungan. Dalam new development paradigm ini, ada sejumlah langkah yang harus dilakukan, diantaranya sebagai berikut.
1. Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan secara merata di seluruh daerah di IBT. Peningkatan kualitas sumber daya manusia harus merupakan prioritas utama dalam kebijakan pembangunanekonomi dan sosial di IBT. Untuk maksud ini, kebijakan pendidikan, baik pada tingkat nasional maupun daerah, harus diarahkan pada penciptaan sumber daya manusia berkualitas tinggi sesuai kebutuhan setiap kawasan di Indonesia. IBT harus memiliki ahli-ahli khususnya dibidang kelautan, perhutanan, peternakan, pertambangan, industri, pertanian,dan perdagangan global.
2. Pembangunan sarana infrastuktur juga harus merupakan prioritas utama, termasuk pembangunan sentra-sentra industri dan pelabuhan-pelabuhan laut dan udara di wilayah-wilayah IBT yang berdasarkan nilai ekonomi memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi entreport.
3. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang memiliki keunggulan komparatif berdasarkan kekayaan sumber daya alam yang ada harus dikembangkan seoptimal mungkin, di antaranya adalah sektor pertanian dan sektor industri manufaktur. Setiap daerah/provinsi IBT harus berspesialisasi dalam suatu kegiatan ekonomi yang sepenuhnya didasarkan pada keunggulan komparatif yang dimiliki oleh masing-masing daerah atau provinsi.
4. Pembangunan ekonomi di IBT harus dimonitori oleh industrialisasi yang dilandasi oleh keterkaitan produksi yang kuat antara industri manufaktur dan sektor-sektor primer, yakni pertanian dan pertambangan.
D. Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan
Menurut Sjafrizal (2012):
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2. Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.
4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya ketimpangan antar wilayah menurut Sjafrizal (2012) yaitu :
1. Perbedaan kandungan sumber daya alam
Perbedaan kandungan sumber daya alam akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
2. Perbedaan kondisi demografis
Perbedaan kondisi demografis meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat setempat. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut.
3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa
Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah apabila mobilitas kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat di jual ke daerah lain yang membutuhkan. Akibatnya adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.
4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah
Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada suatu daerah dimana konsentrasi kegiatan ekonominya cukup besar. Kondisi inilah yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.
5. Alokasi dana pembangunan antar wilayah
Alokasi dana ini bisa berasal dari pemerintah maupun swasta. Pada sistem pemerintahan otonomi maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung lebih rendah. Untuk investasi swasta lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dimana keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan kekuatan yang berperan banyak dalam menark investasi swasta. Keuntungan lokasi ditentukan oleh biaya transpor baik bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Oleh karena itu investai akan cenderung lebih banyak di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan.
E. PEMBANGUNAN
KAWASAN TIMUR INDONESIA
Kinerja
Pembangunan Kawasan Timur Indonesia
GBHN 1993
mengamanatkan perlunya menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah serta
melaksanakan otonomi daerah yang nyata, serasi, dinamis, dan bertanggungjawab
di dalam suatu kesatuan Wawasan Nusantara. Implikasinya adalah bahwa
kebijaksanaan pembangunan daerah tidaklah sekedar memberikan kompensasi alokasi
finansial kepada propinsi atau kawasan yang relatif tertinggal, akan tetapi
justru lebih difokuskan untuk dapat menumbuhkan sikap kemandirian dari
masing-masing daerah tersebut untuk dapat mengelola dan mengembangkan potensi
sumberdaya yang dimiliki demi kepentingan daerah yang bersangkutan pada
khususnya maupun kepentingan nasional pada umumnya.
Selama
PJP I, perkembangan ekonomi antardaerah memperlihatkan kecenderungan bahwa
propinsi-propinsi di Pulau Jawa pada umumnya mengalami perkembangan ekonomi
yang lebih cepat dibandingkan dengan propinsi lainnya di luar Jawa. Perbedaan
perkembangan antardaerah tersebut menyebabkan terjadinya kesenjangan
kesejahteraan dan kemajuan antardaerah, terutama antara Jawa dan luar Jawa,
antara kawasan barat Indonesia (KBI) dengan kawasan timur Indonesia (KTI), dan
antara daerah perkotaan dengan daerah perdesaan. Disamping itu, masih ditemui
daerah-daerah yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain, yaitu daerah
terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah
terbelakang lainnya.
Dalam PJP
II, wilayah kawasan timur Indonesia (KTI) yang secara definitif meliputi 13
propinsi yang ada di wilayah Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan timur, telah
diberikan prioritas untuk dikembangkan dalam upaya untuk memperkecil tingkat
kesenjangan yang terjadi antara kawasan barat Indonesia dengan KTI selama PJP I
yang lalu. Sebenarnya, sejak lima tahun terkahir ini upaya untuk mempercepat
pembangunan dan mengembangkan KTI telah banyak dilakukan melalui berbagai
kebijaksanaan dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta
melalui berbagai seminar, lokakarya, rapat kerja, sarasehan yang membahas
masalah pembangunan KTI yang dilakukan baik oleh pemerintah, pihak perguruan
tinggi, maupun pihak dunia usaha swasta.
Dalam
membangun KTI, terdapat beberapa faktor pokok yang perlu diberikan perhatian
lebih mendalam dalam memformulasikan strategi pengembangannya, yaitu: (a)
adanya keanekaragaman situasi dan kondisi daerah-daerah di KTI yang memerlukan
kebijaksanaan serta solusi pembangunan yang disesuaikan dengan kepentingan
setempat (local needs); (b) perlunya pendekatan pembangunan yang dilaksanakan
secara terpadu dan menggunakan pendekatan perwilayahan; (c) perencanaan
pembangunan di daerah harus memperhatikan serta melibatkan peranserta
masyarakat; serta (d) peningkatan serta pengembangan sektor pertanian yang
tangguh untuk dapat menanggulangi masalah kemiskinan baik di perdesaan maupun
di perkotaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat khususnya dalam bidang
agribisnis dan agroindustri, serta penyediaan berbagai sarana dan prasarana
lapangan kerja.
Selain
itu, dalam memformulasikan strategi pengembangan KTI terdapat tiga pertimbangan
pokok terhadap potensi dan peluang yang dimiliki KTI, yaitu: (a) beberapa
propinsi di KTI merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam yang memiliki
potensi untuk dikembangkan, yang pada gilirannya dapat pula dikembangkan
menjadi kawasan pusat-pusat pertumbuhan; (b) jumlah penduduk yang relatif
sedikit dengan penyebaran yang tidak merata dibandingkan luas wilayah,
merupakan "katup pengaman" bagi program transmigrasi penduduk dari
wilayah KBI yang relatif lebih padat; serta (c) adanya komitmen pemerintah
untuk melaksanakan pembangunan yang memperhatikan aspek pemerataan dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.
Strategi
pengembangan wilayah KTI pada dasarnya merupakan strategi atau langkah-langkah
kebijaksanaan yang bertahap, yakni mencakup tiga tingkatan strategi: mikro,
meso, dan makro. Strategi tingkat mikro bertujuan untuk mengidentifikasi dan
memenuhi kebutuhan dasar, membantu daerah dalam mencapai kemandirian ekonomi,
mendorong pengembangan potensi ekspor daerah, sehingga dapat memberikan
kontribusi terhadap perekonomian nasional. Strategi tingkat meso mengupayakan
identifikasi keterkaitan fisik dan ekonomi antarpropinsi agar dapat diciptakan
pusat-pusat pengembangan antarwilayah di kawasan yang bersangkutan. Sedangkan
strategi tingkat makro lebih difokuskan pada pengembangan prasarana
transportasi intra dan antarwilayah sebagai bagian dari sistem transpotasi
nasional, pemanfaatan sumberdaya alam secara tepat dan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, peningkatan peranserta sektor swasta, penguatan kelembagaan
pemerintah dan masyarakat termasuk peranserta aktif dari kalangan perguruan
tinggi sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di
KTI.
Sejalan
dengan upaya tersebut, salah satu komitmen pemerintah yang cukup nyata dalam
mempercepat pengembangan KTI dalam PJP II adalah dengan dibentuknya Dewan
Pengembangan KTI (DP-KTI) melalui Keppres No. 120 Tahun 1993 tentang Dewan
Pengembangan KTI, yang diketuai langsung oleh Bapak Presiden RI dan
beranggotakan 17 menteri/ketua LPND. Untuk lebih meningkatkan bobot
kebijaksanaan yang ditetapkan Dewan, dibentuk 4 pokja yang meliputi
bidang-bidang: (i) pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, (ii) sumber
daya alam dan lingkungan, (iii) prasarana, dan (iv) kelembagaan, serta 1
kelompok kerjasama pembangunan daerah antarBappeda se-KTI. Sejak terbentuknya,
Dewan telah melaksanakan beberapa kali pertemuan tingkat anggota Dewan dan
telah menghasilkan berbagai keputusan yang berbobot kebijaksanaan makro yang
dijabarkan secara lebih operasional oleh masing-masing departemen/LPND terkait.
Sebagaimana
telah ditetapkan, fungsi dari DP-KTI adalah sebagai wadah bagi perumusan dan
penetapan kebijakan dan strategi untuk mempercepat pembangunan di KTI, termasuk
penentuan tahapan dan prioritas pelaksanaannya. Untuk itu, selain dari beberapa
kelompok kerja yang telah dibentuk diatas, secara fungsional juga telah
dibentuk beberapa tim khusus (adhoc) yang bertugas untuk menyusun berbagai
kajian dan rumusan kebijaksanaan bagi pengembangan bidang-bidang tertentu yang
potensial di kawasan timur Indonesia, seperti (i) tim perumus pemberian
insentif investasi, (ii) tim penyiapan kawasan andalan Biak sebagai daerah
otorita, (iii) tim budidaya ikan tuna dan ternak, serta (iv) tim budidaya
rotan. Tugas dari masing-masing tim yang bersifat temporer tersebut, diharapkan
dapat memberikan masukan bagi DP-KTI dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan
KTI secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
F. TEORI DAN
ANALISIS PEMBANGUNAN DAERAH
Perbedaan
karakteristik wilayah berarti perbedaan potensi yang dimiliki, sehingga
membutuhkan perbedaan kebijakan untuk setiap wilayah. Untuk menunjukkan adanya
perbedaan potensi ini maka dibentuklah zona-zona pengembangan ekonomi wilayah.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona Pengembangan Ekonomi Daerah adalah pendekatan pengembangan ekonomi daerah dengan membagi habis wilayah sebuah daerah berdasarkan potensi unggulan yang dimiliki, dalam satu daerah dapat terdiri dari dua atau lebih zona dan sebuah zona dapat terdiri dari dua atau lebih cluster. Setiap zona diberi nama sesuai dengan potensi unggulan yang dimiliki, demikian pula pemberian nama untuk setiap cluster, misalnya : Zona Pengembangan Sektor Pertanian yang terdiri dari Cluster Bawang Merah, Cluster Semangka, Cluster Kacang Tanah, dst.
Zona
pengembangan ekonomi daerah (ZPED) adalah salah satu solusi yang dapat
diterapkan untuk membangun ekonomi suatu daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di masa depan. Pola pembangunan ekonomi dengan pendekatan Zona
Pengembangan Ekonomi Daerah (ZPED), bertujuan:
1) Membangun
setiap wilayah sesuai potensi yang menjadi keunggulan kompetitifnya/kompetensi
intinya.
2) Menciptakan
proses pembangunan ekonomi lebih terstruktur, terarah dan berkesinambungan.
3) Memberikan
peluang pengembangan wilayah kecamatan dan desa sebagai pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi daerah.
Hal
ini sejalan dengan strategi pembangunan yang umumnya dikembangkan oleh para
ahli ekonomi regional dewasa ini. Para ahli sangat concern dengan ide
pengembangan ekonomi yang bersifat lokal, sehingga lahirlah berbagai Strategi
Pembangunan Ekonomi Lokal (Local Economic Development/LED).
Strategi
ini terangkum dalam berbagai teori dan analisis yang terkait dengan pembangunan
ekonomi lokal. Salah satu analisis yang relevan dengan strategi ini adalah
Model Pembangunan Tak Seimbang, yang dikemukakan oleh Hirscman :
“Jika
kita mengamati proses pembangunan yang terjadi antara dua priode waktu tertentu
akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan
dengan laju yang berbeda, yang berarti pula bahwa pembangunan berjalan dengan
baik walaupun sektor berkembang dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor
pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Begitu
pula perkembangan di suatu industri tertentu akan merangsang perkembangan
industri-industri lain yang terkait dengan industri yang mengalami perkembangan
tersebut”.
Model
pembangunan tak seimbang menolak pemberlakuan sama pada setiap sektor yang
mendukung perkembangan ekonomi suatu wilayah. Model pembangunan ini
mengharuskan adanya konsentrasi pembangunan pada sektor yang menjadi unggulan
(leading sector) sehingga pada akhirnya akan merangsang perkembangan sektor
lainnya.
Terdapat
pula analisis kompetensi inti (core competiton). Kompetensi inti dapat berupa
produk barang atau jasa yang andalan bagi suatu zona/kluster untuk membangun
perekonomiannya. Pengertian kompetensi inti menurut Hamel dan Prahalad (1995)
adalah :
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
“Suatu kumpulan kemampuan yang terintegrasi dari serangkaian sumberdaya dan perangkat pendukungnya sebagai hasil dari proses akumulasi pembelajaran, yang akan bermanfaat bagi keberhasilan bersaing suatu bisnis”.
Sedangan
menurut Reeve (1995) adalah :
“Aset yang memiliki keunikan yang tinggi,
sulit ditiru, keunggulan daya saing ditentukan oleh kemampuan yang unik,
sehingga mampu membentuk suatu kompetensi inti”.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar